Pada mainboard generasi sekarang, banyak sekali yang sudah dilengkapi dengan fitur RAID, terutama pada mainboard hi-end. RAID, singkatan dari Redundant Array of Independent Disks
merujuk kepada sebuah teknologi di dalam penyimpanan data komputer yang
digunakan untuk mengimplementasikan fitur toleransi kesalahan pada
media penyimpanan komputer (utamanya adalah hard disk)
dengan menggunakan cara redundansi (penumpukan) data, baik itu dengan
menggunakan perangkat lunak, maupun unit perangkat keras RAID terpisah.
Kata “RAID” juga memiliki beberapa singkatan
Redundant Array of Inexpensive Disks, Redundant Array of Independent
Drives, dan juga Redundant Array of Inexpensive Drives. Teknologi ini
membagi atau mereplikasi data ke dalam beberapa hard disk terpisah. RAID
didesain untuk meningkatkan keandalan data dan/atau meningkatkan
kinerja I/O dari hard disk.
Sejak pertama kali diperkenalkan, RAID
dibagi ke dalam beberapa skema, yang disebut dengan “RAID Level”. Pada
awalnya, ada lima buah RAID level yang pertama kali dikonsepkan, tetapi
seiring dengan waktu, level-level tersebut berevolusi, yakni dengan
menggabungkan beberapa level yang berbeda dan juga mengimplementasikan
beberapa level proprietary yang tidak menjadi standar RAID.
RAID menggabungkan beberapa hard disk
fisik ke dalam sebuah unit logis penyimpanan, dengan menggunakan
perangkat lunak atau perangkat keras khusus. Solusi perangkat keras
umumnya didesain untuk mendukung penggunaan beberapa hard disk secara
sekaligus, dan sistem operasi tidak perlu mengetahui bagaimana cara
kerja skema RAID tersebut. Sementara itu, solusi perangkat lunak umumnya
diimplementasikan di dalam level sistem operasi, dan tentu saja
menjadikan beberapa hard disk menjadi sebuah kesatuan logis yang
digunakan untuk melakukan penyimpanan.
Berikut beberapa konfigurasi standart RAID:
RAID 0
Juga dikenal dengan modus stripping.
Membutuhkan minimal 2 harddisk. Sistemnya adalah menggabungkan kapasitas
dari beberapa harddisk. Sehingga secara logikal hanya “terlihat” sebuah
harddisk dengan kapasitas yang besar (jumlah kapasitas keseluruhan
harddisk).
Pada awalnya, RAID 0, digunakan untuk
membentuk sebuah partisi yang sangat besar dari beberapa harddisk dengan
biaya yang efisien.
Misalnya:
Kita membutuhkan suatu partisi dengan ukuran 500GB. Harga sebuah harddisk berukuran 100GB adalah Rp.500.000,- sedangkan harga harddisk berukuran 500GB adalah Rp.5.000.000,-. Nah, kita dapat membetuk suatu partisi berukuran 500GB dari 5 unit harddisk berukuran 100GB dengan menggunakan RAID 0. Tentunya skenario ini lebih murah karena memakan biaya lebih murah: 5 x Rp.500.000,- = Rp.2.500.000,-. Lebih murah daripada harus membeli harddisk yang berukuran 500GB. Itulah kenapa pada awalnya disebut redundant array of inexpensive disk.
Kita membutuhkan suatu partisi dengan ukuran 500GB. Harga sebuah harddisk berukuran 100GB adalah Rp.500.000,- sedangkan harga harddisk berukuran 500GB adalah Rp.5.000.000,-. Nah, kita dapat membetuk suatu partisi berukuran 500GB dari 5 unit harddisk berukuran 100GB dengan menggunakan RAID 0. Tentunya skenario ini lebih murah karena memakan biaya lebih murah: 5 x Rp.500.000,- = Rp.2.500.000,-. Lebih murah daripada harus membeli harddisk yang berukuran 500GB. Itulah kenapa pada awalnya disebut redundant array of inexpensive disk.
Contoh lain:
Pada saat ini ukuran harddisk terbesar yang tersedia di pasaran adalah 500GB, sedangkan kita membutuhkan suatu partisi dengan ukuran 2TB. Nah, kita dapat membeli 4 unit harddisk berkapasitas 500GB dan mengkonfigurasinya dengan RAID 0, sehingga kita dapat memiliki suatu partisi berkururan 2TB tanpa harus menunggu harddisk dengan kapasitas sebesar itu tersedia di pasar.
Pada saat ini ukuran harddisk terbesar yang tersedia di pasaran adalah 500GB, sedangkan kita membutuhkan suatu partisi dengan ukuran 2TB. Nah, kita dapat membeli 4 unit harddisk berkapasitas 500GB dan mengkonfigurasinya dengan RAID 0, sehingga kita dapat memiliki suatu partisi berkururan 2TB tanpa harus menunggu harddisk dengan kapasitas sebesar itu tersedia di pasar.
Data yang ditulis pada harddisk-harddisk
tersebut terbagi-bagi menjadi fragmen-fragmen. Dimana fragmen-fragmen
tersebut disebar di seluruh harddisk. Sehingga, jika salah satu harddisk
mengalami kerusakan fisik, maka data tidak dapat dibaca sama sekali.
Namun ada keuntungan dengan adanya
fragmen-fragmen ini: kecepatan. Data bisa diakses lebih cepat dengan
RAID 0, karena saat komputer membaca sebuah fragmen di satu harddisk,
komputer juga dapat membaca fragmen lain di harddisk lainnya.
RAID 1
Biasa disebut dengan modus mirroring.
Membutuhkan minimal 2 harddisk. Sistemnya adalah menyalin isi sebuah
harddisk ke harddisk lain dengan tujuan: jika salah satu harddisk rusak
secara fisik, maka data tetap dapat diakses dari harddisk lainnya.
Contoh:
Sebuah server memiliki 2 unit harddisk yang berkapasitas masing-masing 80GB dan dikonfigurasi RAID 1. Setelah beberapa tahun, salah satu harddisknya mengalami kerusakan fisik. Namun data pada harddisk lainnya masih dapat dibaca, sehingga data masih dapat diselamatkan selama bukan semua harddisk yang mengalami kerusakan fisik secara bersamaan.
Sebuah server memiliki 2 unit harddisk yang berkapasitas masing-masing 80GB dan dikonfigurasi RAID 1. Setelah beberapa tahun, salah satu harddisknya mengalami kerusakan fisik. Namun data pada harddisk lainnya masih dapat dibaca, sehingga data masih dapat diselamatkan selama bukan semua harddisk yang mengalami kerusakan fisik secara bersamaan.
RAID 2
RAID 2, juga menggunakan sistem
stripping. Namun ditambahkan tiga harddisk lagi untuk pariti hamming,
sehingga data menjadi lebih reliable. Karena itu, jumlah harddisk yang
dibutuhkan adalah minimal 5 (n+3, n > 1). Ketiga harddisk terakhir
digunakan untuk menyimpan hamming code dari hasil perhitungan tiap
bit-bit yang ada di harddisk lainnya.
Contoh:
Kita memiliki 5 harddisk (sebut saja harddisk A,B,C, D, dan E) dengan ukuran yang sama, masing-masing 40GB. Jika kita mengkonfigurasi keempat harddisk tersebut dengan RAID 2, maka kapasitas yang didapat adalah: 2 x 40GB = 80GB (dari harddisk A dan B). Sedangkan harddisk C, D, dan E tidak digunakan untuk penyimpanan data, melainkan hanya untuk menyimpan informasi pariti hamming dari dua harddisk lainnya: A, dan B. Ketika terjadi kerusakan fisik pada salah satu harddisk utama (A atau B), maka data tetap dapat dibaca dengan memperhitungkan pariti kode hamming yang ada di harddisk C, D, dan E.
Kita memiliki 5 harddisk (sebut saja harddisk A,B,C, D, dan E) dengan ukuran yang sama, masing-masing 40GB. Jika kita mengkonfigurasi keempat harddisk tersebut dengan RAID 2, maka kapasitas yang didapat adalah: 2 x 40GB = 80GB (dari harddisk A dan B). Sedangkan harddisk C, D, dan E tidak digunakan untuk penyimpanan data, melainkan hanya untuk menyimpan informasi pariti hamming dari dua harddisk lainnya: A, dan B. Ketika terjadi kerusakan fisik pada salah satu harddisk utama (A atau B), maka data tetap dapat dibaca dengan memperhitungkan pariti kode hamming yang ada di harddisk C, D, dan E.
RAID 3
RAID 3, juga menggunakan sistem
stripping. Juga menggunakan harddisk tambahan untuk reliability, namun
hanya ditambahkan sebuah harddisk lagi untuk parity.. Karena itu, jumlah
harddisk yang dibutuhkan adalah minimal 3 (n+1 ; n > 1). Harddisk
terakhir digunakan untuk menyimpan parity dari hasil perhitungan tiap
bit-bit yang ada di harddisk lainnya.
Contoh kasus:
Kita memiliki 4 harddisk (sebut saja harddisk A,B,C, dan D) dengan ukuran yang sama, masing-masing 40GB. Jika kita mengkonfigurasi keempat harddisk tersebut dengan RAID 3, maka kapasitas yang didapat adalah: 3 x 40GB = 120GB. Sedangkan harddisk D tidak digunakan untuk penyimpanan data, melainkan hanya untuk menyimpan informasi parity dari ketiga harddisk lainnya: A, B, dan C. Ketika terjadi kerusakan fisik pada salah satu harddisk utama (A, B, atau C), maka data tetap dapat dibaca dengan memperhitungkan parity yang ada di harddisk D. Namun, jika harddisk D yang mengalami kerusakan, maka data tetap dapat dibaca dari ketiga harddisk lainnya.
Kita memiliki 4 harddisk (sebut saja harddisk A,B,C, dan D) dengan ukuran yang sama, masing-masing 40GB. Jika kita mengkonfigurasi keempat harddisk tersebut dengan RAID 3, maka kapasitas yang didapat adalah: 3 x 40GB = 120GB. Sedangkan harddisk D tidak digunakan untuk penyimpanan data, melainkan hanya untuk menyimpan informasi parity dari ketiga harddisk lainnya: A, B, dan C. Ketika terjadi kerusakan fisik pada salah satu harddisk utama (A, B, atau C), maka data tetap dapat dibaca dengan memperhitungkan parity yang ada di harddisk D. Namun, jika harddisk D yang mengalami kerusakan, maka data tetap dapat dibaca dari ketiga harddisk lainnya.
RAID 4
Sama dengan sistem RAID 3, namun
menggunakan parity dari tiap block harddisk, bukan bit. Kebutuhan
harddisk minimalnya juga sama, 3 (n+1 ; n >1).
RAID 5
RAID 5 pada dasarnya sama dengan RAID 4,
namun dengan pariti yang terdistribusi. Yakni, tidak menggunakan
harddisk khusus untuk menyimpan paritinya, namun paritinya tersebut
disebar ke seluruh harddisk. Kebutuhan harddisk minimalnya juga sama, 3
(n+1 ; n >1).
Hal ini dilakukan untuk mempercepat
akses dan menghindari bottleneck yang terjadi karena akses harddisk
tidak terfokus kepada kumpulan harddisk yang berisi data saja.
RAID 6
Secara umum adalah peningkatan dari RAID
5, yakni dengan penambahan parity menjadi 2 (p+q). Sehingga jumlah
harddisk minimalnya adalah 4 (n+2 ; n > 1). Dengan adanya penambahan
pariti sekunder ini, maka kerusakan dua buah harddisk pada saat yang
bersamaan masih dapat ditoleransi. Misalnya jika sebuah harddisk
mengalami kerusakan, saat proses pertukaran harddisk tersebut terjadi
kerusakan lagi di salah satu harddisk yang lain, maka hal ini masih
dapat ditoleransi dan tidak mengakibatkan kerusakan data di harddisk
bersistem RAID 6.
Penutup
Banyak manfaat yang didapat dengan
konfigurasi RAID, yakni kecepatan, reliabilitas data, dan toleransi
kesalahan. Namun belum lengkap rasanya jika membahas RAID tanpa membahas
hot-swappable harddisk, juga beberapa konfigurasi lanjut seperti RAID
0+1 atau RAID 1+0. Mungkin akan dibahas di lain waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar